Jumat, 16 Januari 2015

Paul Tibbets, Pilot Pembawa Bom Atom

PADA 6 dan 9 Agustus 1945, bom atom meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Bom atom itu dibawa oleh pesawat B-29. "B-san alias Tuan-B, begitulah orang Jepang menyebut sekaligus menghargai dengan terpaksa pesawat pengebom B-29 yang terkenal saat itu," tulis John Hersey dalam Hiroshima, Ketika Bom Dijatuhkan. Dan pilot yang menjatuhan bom atom “Little Boy” di Hiroshima dari B-29 Enola Gay –nama ibunya– adalah Paul Tibbets.
Ayah Paul tidak pernah mendukungnya menjadi pilot karena membenci pesawat dan sepeda motor. Ketika Paul bilang ingin pergi menerbangkan pesawat, ayahnya mengatakan, “Saya sudah mengirimu sekolah, membelikanmu mobil, memberimu uang untuk bersenang-senang dengan perempuan. Jika kau ingin bunuh diri, silakan. Saya tidak peduli,” kata Paul menirukan ayahnya Paul Warfield Tibbets Sr, dalam wawancara dengan The Guardian, 6 Agustus 2002. Sedangkan ibunya, Enola Gay Haggard, hanya berkata, “Paul, jika kamu ingin menerbangkan pesawat, kamu akan baik-baik saja.”
Paul Tibbets lahir di Quincy, Illinois, pada 23 Februari 1915. Ayahnya ingin Paul menjadi dokter. Tapi, dia lebih tertarik di militer. Lulus Akademi Militer Barat, sekolah persiapan militer swasta, di Alton, Illinois, yang didirikan pada 1879 dan ditutup pada 1971; Paul melanjutkan ke Universitas Florida di Gainesville. Kemudian dia terpikir untuk menjadi dokter bedah dan masuk Universitas Cincinnati di Ohio selama satu tahun setengah, sebelum akhirnya berubah pikiran lagi, dan bergabung dengan korps Angkatan Udara AS. Selama Perang Dunia II, Paul menjalankan misi-misi penerbangan penting sampai dia diganjar penghargaan sebagai penerbang terbaik Angkatan Udara AS.
Pada September 1944, setelah Paul mencoba menerbangkan B-29, seorang pria menghampirinya. Dia menyampaikan pesan, bahwa Jenderal Uzal Ent, komandan Angkatan Udara Ke-2 berpangkalan di Colorado, menunggunya pukul sembilan pagi.  
Di kantor Jenderal Uzal Ent, Paul telah ditunggu beberapa orang, di antaranya Kapten Angkatan Laut AS, William Parsons, kelak bersamanya terbang ke Hiroshima, dan Dr. Norman Ramsey, profesor fisika nuklir dari Universitas Columbia, yang menjelaskan mengenai Proyek Manhattan yang mengembangkan bom atom.
Sebelum mengemban tugas menjatuhkan bom atom, Paul terlebih dulu belajar mengenai seluk beluk bom yang dibawanya. Dr Oppenheimmer menerangkan cara menghindar dari gelombang ledakan atom dan Dr Norman Ramsey menjelaskan mengenai kekuatan bom atom tersebut yang mencapai 20.000 ton TNT. Uji coba manuver pesawat untuk menghindari gelombang atom pun beberapa kali dilakukan. Dia memilih Pangkalan Udara Wendover di Utah sebagai pangkalan latihan. Hingga hari itu pun tiba.
Basis pangkalan rencana pengeboman berada di Pulau Tinian di Kepulauan Mariana Utara. Pulau ini awalnya berada di bawah kuasa Jepang, kemudian berhasil direbut Sekutu. Di pulau ini telah dibangun dua pangkalan yaitu Utara dan Barat. Pangkalan Utara dijadikan homebase B-29. Pada 26 Juli 1945, kedua bom atom Fat-Man dan Little Boy dibawa ke pulau ini menggunakan USS Indianapolis. Berbagai keterangan mengenai daerah sasaran diberikan, seperti keadaan cuaca, “hari keenam Agustus adalah hari paling tepat untuk terbang di atas pulau Honshu,” kata Paul.
Pesawat B-29 Enola Gay membawa bom atom Little Boy dengan panjang 3 meter, lebar 71 cm, dan berat 4000 kg. Uraniumnya dipasok dari pabrik raksasa di Oak Ridge, Tennessee selama Proyek Manhattan. Awak B-29 Enola Gay terdiri dari: Paul Tibbets (pilot), Robert A. Lewis (kopilot), Ted Van Kirk (navigator), William S Parsons (yang mengaktifkan bom sebelum dijatuhkan), Thomas W. Frebee (juru bidik/pelepas bom), Bob Caron (defender belakang pesawat bagian ekor untuk menjaga kemungkinan serangan Jepang). Tepat tengah malam pada hari keenam Agustus, mereka lepas landas.
Pada pukul 8.15 waktu Jepang, B-29 telah sampai diatas langit Hiroshima. Dari ketinggian hampir 10 ribu meter mereka menghitung. Little-Boy dijatuhkan. Dalam satu mikro-detik, kota Hiroshima tidak ada. Ratusan ribu orang meninggal seketika, sisanya terluka seumur hidup, dan hanya sedikit yang bertahan.
Manuver penyelamatan dari gelombang ledakan bom atom pun dilakukan. “Satu cahaya yang terang memenuhi pesawat dan kami memutar pesawat kembali untuk melihat Hiroshima. Kota tersebut tersembunyi di balik awan yang mengerikan itu,” kenang Paul. Sekembalinya ke pangkalan udara di Pulau Tinian pukul 3 sore, dia disambut oleh Jendral Carl Spaatz dan memberi medali Distinguished Service Cross dan anggota awak lain mendapat Air Medals.
Tak cukup sekali, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Hasilnya sangat mengguncangkan kekaisaran Jepang dan menyudahi ekspansinya pada Perang Dunia II.
Pasca Perang Dunia II, kehidupan keluarga Paul diambang kehancuran. Dia bercerai dari istrinya, Lucy Wingate pada 1955. Dan menikah lagi dengan wanita Prancis, Andrea Quattrehomme. Pada 1959, dia naik pangkat menjadi Brigadir Jenderal dan pensiun pada 31 Agustus 1966. Paul meninggal pada 1 November 2007 di usia 92 tahun.
Rakyat Jepang mengingat peristiwa bom atom Hiroshima dan Nagasaki sebagai kejadian paling menyedihkan. Tiap tahun mereka memperingati dan berdoa untuk korban meninggal, yang menderita seumur hidup, atau yang kehilangan anggota keluarga. Hingga kini, tindakan ini masih dipertanyakan. Dunia menggugat. Amerika sendiri berdalih bom atom telah menyelamatkan nyawa-nyawa yang akan lebih banyak hilang jika perang terus dilanjutkan. Seperti apa yang diyakini Paul dan awak lainnya: “Ya, kita akan membunuh banyak orang, tapi kita akan menyelamatkan banyak nyawa. Kami tidak perlu menyerang (Jepang).
http://historia.co.id/artikel/persona/1055/Majalah-Historia/Paul_Tibbets,_Pilot_Pembawa_Bom_Atom

0 komentar:

Posting Komentar